Pages

Ekspresi Nazar Nurdin

Foto Nazar Nurdin ketika presentasi dalam lomba esai nasional hukum di fakultas syariah UIN Malang tahun 2010

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 17 Januari 2010

Mengguritakan Aditjondro

Sejak resmi diluncurkan kepada khalayak umum akhir tahun lalu, buku fenomenal karya George Junus Aditjondro dengan cepat menuai banyak kritik pedas. Kritikan paling tajam dan jelas terlihat dari kalangan pendukung SBY baik itu dari yang berlatar belakang partai, maupun profesional. Buku berjudul ‘Membongkar Gurita Cikeas’ itu pun menyulut emosi banyak pihak. Bahkan penulis buku tersebut, menerima banyak ancaman atas proyek penelitian ilmiahnya. Tekanan itu terus bermunculan baik secara lisan mengecam tindakan dirinya menulis buku tersebut maupun lewat perantara teknologi yang senantiasa mengancam dirinya.
Hal ini wajar mengingat watak pemangku kepentingan atau pejabat yang merasa yang dipojokkan tergolong masih kekanak-kanakan. Dalam artian, tidak bisa menerima dengan hati yang lapang dan sesekali ingin bermain seperti di taman kanak-kanak. Dan seorang Aditjondro merasa tergugah untuk menggoreskan sebatang pena ke dalam sebuah buku kecil yang berisikan tentang praktik ‘bejat’ penguasa yang selalu korupsi dan selalu korupsi. Buku tersebut lahir karena buntut keprihatinan atas maraknya praktik korupsi yang melanda negeri kita tercinta, Indonesia.

Secara eksplisit, buku fenomenal ini mulai menemukan faknya berupa tarik ulur berbagai pendapat. Seperti biasanya buku yang dinyatakan ‘aneh’ ditanggapi beragam oleh banyak pihak. Pro-kontra bermunculan terhadap penyataan dalam buku tersebut, sebagian mengecam keras, sebagian lainnya menerima pernyataan yang dipresentasikan Aditjondro. Diketahui bahwa semula buku ini dicetak 4000 eksemplar dan telah disebarkan ke berbagai toko buku. Namun, seiring terkuaknya aroma politik korupsi di negeri ini, buku tersebut kian sulit dilacak keberadaannya. Entah buku fenomenal tersebut laris terjual atau kah malah ditarik dari pasaran, keberadaannya pun saat ini masih simpang siur.

Maka, seiring sulitnya mencari cetakan buku tersebut serta kurangnya informasi, tidak elok rasanya jika penulis buku lantas dihakimi sedemikian rupa tanpa tahu isi dari buku. Apalagi penghakiman berreferensi menurut perkataan orang, buku tersebut sampah dan tidak berguna. Hegemoni pun menyeruak untuk melumat habis pernyataan dalam isi buku. Jika dirunut ke belakang, buku ini telah memenuhi prosedural dalam standar ilmiah dari karya tulis. Mengingat dalam buku tersebut disajikan dalam kemasan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh penulisnya.

Meskipun penulis sendiri belum lihat isi buku tersebut, namun pada dasarnya banyak kolumnis di media massa yang mencoba menguraikan apa yang ada dalam buku tersebut. Dalam catatan Arianto Sangaji, seorang kolumnis Kompas, isi buku tersebut mengilustrasikan perilaku korupsi yang ada di Indonesia yaitu tentang adanya politik korupsi. Aditjondro menilai hal ini sebagai sebuah perbuatan oligarki dan menyebut politik korupsi ini ‘berkaki tiga’ yakni istana, tangsi dan partai penguasa. Dia mengklaim adanya kesinambungan dari Soeharto sampai SBY yang mengunakan sistem oligarki, (Kompas, 6/1/10).

Kondisi ini amat mirip dengan apa yang dikatakan Edwin Lemert, (1912-1996) yang membuat pembahasan penting mengenai konstruksi sosial paranoia dalam teori labeling. Paranoia adalah kondisi mental dimana seseorang membayangkan dirinya ditindas oleh suatu persekongkolan. Aditjondro dalam hal ini bak menerima penyakit paranoia dari suatu persekongkolan yang mendiskreditkan atas dirinya.

Seperti dikatakan Lemert, jika paranoia terdapat dalam tubuh seseorang maka suatu persekongkolan itu benar-benar terwujud. Sepintas jika menelaah pernyataan presiden SBY yang mengatakan keprihatinan atas buku tersebut yang dinilainya memuat fakta-fakta yang tidak akurat dan tidak mengandung kebenaran. Dan yang menganggap buku terebut sebagai sarana fitnah kepada penguasa.

Hal ini mengindikasikan adanya kejelasan tentang persekongkolan yang menimpa Aditdjondro. Amat disayangkan, jika berbagai pihak mulai mengguritakan Aditdjondro sebagai penulis buku yang salah kaprah.

Nah, sebagai warga negara yang patuh dan taat pada hukum serta negara yang menggunakan sistem demokrasi, maka kurang bijak rasanya jika segenap elemen masyarakat Indonesia yang mafhum akan arti demokrasi turut andil dalam penghakiman Aditjondro. Apalagi bapak tua berjenggot tebal itu adalah dosen sosiologi korupsi, maka secara logika dia tahu secara pasti apa itu korupsi dan dapat membedakan antara perilaku korupsi dan yang tidak. Namun lepas dari itu, seharusnya yang dapat kita dilakukan hanyalah dengan tidak menerima dengan keadaan pasif berita berkembang yang mengguritakan Aditjondro.

Selasa, 12 Januari 2010

Banyak Penduduk Makmur Ekonomi


Penulis kurang sependapat dengan Thomas Malthus dalam esainya yang berjudul the Principle of Population pada tahun 1798 menulis bahwa pesatnya laju pertumbuhan penduduk tak lepas dari pertumbuhan eksponensial dan mengakibatkan adanya kelaparan dan kekurangan suplai makanan akibat banyaknya penduduk. Sementara itu, Paul R. Ehrlich dalam bukunya The Population Bomb, dituliskan bahwa ledakan penduduk mengakibatkan adanya bencana kemanusiaan.
Langkah pemerintah dalam mengurangi emisi ledakan penduduk di Indonesia patut dipertanyakan kebenarannya. Lebih dari 30 tahun, pemerintah mengkampanyekan keluarga ideal dengan 2 anak, kini pemerintah mulai menyiapkan agenda baru mengurangi jumlah penduduk. Agenda tersebut dicanangkan menyusul tingginya kelahiran anak di Indonesia yang sekarang ini sudah mencapai 2,6 juta jiwa per tahun (menurut penelitian Gunawan Sumodiningrat). Entah alasan apa yang digunakan pemerintah saat ini untuk mengurangi ledakan penduduk. Lepas dari itu, seharusnya bertambahnya jumlah penduduk dengan patut di apresiasi.
Mengutip kata pepatah jawa “Semakin banyak anak, semakin banyak rizkinya.” Orang-orang jawa dulu bukan tanpa alasan mengularkan pernyataan ini. Dibalik itu semua tersirat makna yang tersembunyi yang tak disangka oleh siapapun. Dengan banyaknya jumlah penduduk yang ditandai dengan bayi yang lahir selamat menunjukkan bahwa anak (bayi) datang ke bumi membawa rizki bukan membawa petaka. Di Cina dan India yang terkenal jumlah penduduknya terbanyak ke 1 dan ke 2 memanfaatkan ini dengan sangat baik. Diantaranya menghasilkan pemasukan devisa negara paling besar, sehingga sektor perekonomian negara tersebut diatas rata-rata bahkan merajai dunia.

Indonesia sebagai negara terbanyak ke 4 seharusnya dapat mencapai perekonomian setingkat Cina atau India. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 241.973.879 juta jiwa pada tahun 2006 (Wikipedia), tak pelak jika perekonomian Indonesia semestinya berada di level raja Asia. Pemerintah Indonesia kurang menyadari adanya rahasia tersembunyi dibalik ledakan penduduk. Ditambah dengan doktrin dari barat yang menghasud agar jumlah penduduk dapat ditekan. Doktrin ini justru malah membuat kita tertekan dan semakin terpuruk dalam bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya. Mereka (pembuat doktrin) sadar, jika jumlah penduduk semakin banyak maka perekonomian negara akan semakin kuat. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak dikucilkan dan tidak disaingi oleh negara lain, khususnya Indonesia. Anehnya, Pemerintah Indonesia ‘tanpa dosa’ menjalankan hal ini.

Dalam kondisi sekarang ini, Stimulus mengurangi emisi ledakan penduduk sudah tidak relevan lagi bagi Indonesia. Di tengah jalannya resesi ekonomi global yang menjalar di belahan dunia, sulitnya mencari devisa negara dapat diatasi. Bahkan sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk melepaskan dari ‘cengkraman doktrin’ itu. Kita sebagai bangsa Indonesia seyogyanya dapat berfikir realistis menyikapi hal ini. Tentunya sebagai Bangsa yang besar, bangsa yang berkeadaban tinggi dalam etika moralitasnya dapat menggunakan akal sehatnya dengan teliti.

Kini potret pemerintahan Indonesia semakin jelas dalam menyikapi hal ini. Solusi konkrit atas permasalahan ini, pertama, pemerintah Indonesia harus berani menafsirkan kembali (reinterpretasi) teori-teori yang terlanjur menyebar di masyarakat. Kedua, pada nalar pikir pemimpin banga ini harus dibenahi dalam menyikapi droktrin barat tersebut. Ketiga, masyarakat harus bersikap realistis ketika menjalani proses pembuahan untuk menghasilkan anak. Keempat, pemerintah harus berfikir kreatif, inovatif dan peka terhadap realitas sosial yang dialami bangsa ini. Dan kelima, buatlah ini semua sebagai ujian yang dapat dikerjakan dengan baik dan menghasilkan hasil yang maksimal.

Di samping itu, sumber daya manusia yang kuat akan menguatkan perekonomian Indonesia yang semakin nyata. Dengan solusi diatas, penulis optimis jika Permasalahan besar semisal hutang 7 juta setiap bayi lahir, sarana dan prasara tidak mencukupi perlahan-lahan dapat diatasi.

Instropeksi diri


Dewasa ini, kita melihat berbagai masalah menghimpit negeri kita tercinta ini, Indonesia. Salah satu masalah krusial menjelang hari bersejarah umat manusia khususnya yang beragama Islam pada hari raya Idul Ftiri adalah adanya ancaman bom sewaktu merayakannya.
Tidak bisa dipungkiri, selagi teroris dan cecunguk-cecunguk-nya masih berkeliaran di alam terbuka dan belum dapat teridentifikasi oleh Pemerintah maka bangsa Indonesia akan selalu dihantui oleh berbagai macam teror bom. Maka langkah pertama yang sepatutnya dilakukan bangsa ini adalah menjaga keamanan nasional dari gangguan para sampah masyarakat tersebut. Keamanan negara ini haruslah menjadi prioritas utama karena menyangkut keselamatan penduduk Indonesia dan menyangkut harkat dan martabat bangsa di mata dunia.Di tengah carut marut teror yang menghantui wilayah di negeri ini, kita tak menyangka jika bangsa ini mendapat musibah yang maha dahsyat dari Tuhan. Anugerah itu berupa gempa bumi berskala 7,3 skala Richter yang mengguncang Provinsi Jawa Barat, tepatnya di daerah Tasikmalaya, Cianjur, Garut dan sekitarnya dan menewaskan sekurangnya 53 orang, 37 orang hilang dan tertimbun longsoran dan 167 orang terluka (Kompas, 4/9). Hal ini tentunya menjadi perhatian serius Pemerintah di tengah detik-detik menjelang hari bersejarah umat Islam yang hanya menunggu hitungan hari.
Lepas dari itu, lebaran merupakan bagian dari wujud solidaritas kita terhadap sesama umat manusia. Solidaritas kepada sesama, diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat partisipatif dan bersifat timbal balik. Misalnya, halal bi halal, ber-silaturrahim ke tetangga serta mengadakan reuni. Hal ini dimaksudkan agar tali persaudaraan di kalangan masyarakat, khususnya para kerabat serta sanak keluarga dapat terjaga dengan tanpa mengurangi esensi dari makna lebaran itu sendiri. Dengan demikian, kita semua dapat merasakan indahnya lebaran dengan nuansa kebersamaan dalam bingkai kemasyarakatan yang berkeadaban.
Akan tetapi, lebaran seperti di atas kini seakan telah mati suri. Bunyi letupan petasan, festival tabuhan bedug serta alunan nada takbir makin sepi kita dengar. Bukan maksudnya penulis setuju dengan adanya petasan, tetapi penyebabnya tak lain adalah diri kita sendiri yang tidak mau introspeksi diri dan tidak mau bercengkerama dengan masyarakat.
Faktor gengsi
Benahilah dirimu sebelum membenahi diri orang lain. Begitulah cara Islam melalui kitab sucinya, Al-Qur’an mengajarkan kita tentang pentingnya introspeksi diri. Karena menyadari kesalahan diri kita sendiri adalah hal yang paling mendasar dalam menjalani hidup ini yang lebih baik. Maka dari itu, penyesalan disertai tindakan nyata atas tingkah laku yang diperbuatnya pada masa lalu. Dan berusaha untuk memperbaiki diri kita sendiri dengan cara berbuak baik dan menjaga tingkah laku kita sebelum melakukan pembenahan kepada orang lain ataupun membenahi dekadensi moral bangsa ini.
Seiring berjalannya waktu, penyebab utama hilangnya nuansa lebaran dewasa ini dikarenakan ego kita terhadap sesama ketika merayakan lebaran. Tak terasa, jika kita terkena ‘virus’ dekadensi moral. Dekadensi moral bangsa ini dapat dikatakan pada level kritis dan sangat lemah akan terkena godaan dari virus-virus baru lainnya yang dengan mudah menyebar ke semua lini kehidupan. Padahal dahulu dekadensi moral hanya menyentuh kalangan anak-anak remaja, tetapi kini usia tak lagi mempengaruhi jaminan kualitas moral kita.
Selain itu, penyebab runtuhnya nuansa ‘ramai’ lebaran di karenakan rasa malas yang selalu menjangkiti setiap orang Islam, tak terkecuali dari segala lini usia. Sehingga nantinya dapat menimbulkan ancaman yang serius bagi keberlangsungan budaya lebaran itu sendiri. Langkah yang paling bijak untuk saat ini dalam menghadapi ancaman ini yakni dengan mengembalikan kembali peraturan adat yang berlaku bagi suatu kelompok bersangkutan, atau dengan membuat hukum adat yang baru yang menjamin keberlangsungan lebaran.
Faktor teknis
Di usia yang ke 64 tahun kemerdekaan Indonesia, sudah selayaknya jika bangsa yang besar ini mafhum akan persoalan ini karena mayoritas penduduknya adalah muslim. Persoalan yang terjadi sekarang ini bukanlah hal yang tabu dan sulit untuk dipecahkan. Jika mengaca dari rentetan sejarah, lebaran mengalami kamuflase dari berbagai pihak dan mengalami kondisi pasang surut.
Orang-orang yang tidak dapat menjalankan lebaran sangatlah kepincut jika mereka menginginkan agar dapat berkumpul bersama keluarga. Akan tetapi, karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk memaksanya pulang kampung. Ganjalan dalam konteks masalah ini kian melebar sehingga menimbulkan kesan yang semrawut. Persepsi orang yang mengamati masalah ini baik dalam Islam maupun non Islam tentunya merasakan bahwa Islam adalah agama yang semrawut. Terbukti dengan mengamati bagian dari kejadian lebaran ini.Mumpung hari lebaran ini masih memberi ruang waktu kita beberapa hari, mari kita bersama-sama mencoba mengubah persepsi buruk masyarakat. Sehingga nantinya dapat menimbulkan kesan yang baik bagi agama Islam, khususnya para penikmat ajarannya.

Membumikan mahasiswa ekspor


Di negeri permai ini
Berjuta rakyat bersimpah luka
Anak kurus tak sekolah
Pemuda desa tak kerja
Ost....Darah juang

Sepenggal bait lagu ’Darah juang’ terdengar sayup-sayup rindu penggugah hati manusia. Sepenggal lirik diatas
menggambarkan secuil perjuangan rakyat tanpa henti yang hanya ingin merasakan indahnya kemerdekaan. Kini setelah kemerdekaan yang secara fisik telah tiada, kemerdekaan menjelma menjadi tonggak sejarah darah juang bangsa ini. Harapan besar tonggak sejarah seterusnya nantinya akan jatuh di tangan para pemuda Indonesia, khususnya para mahasiswa yang digadang-gadang sebagai tonggak penerus bangsa.
...............................
Syubbânal yawm rijâlal ghad. Pemuda masa kini adalah tokoh di masa depan. Demikianlah aksioma yang sampai saat ini diakui kebenarannya oleh publik. Pemuda, terutama mahasiswa dikenal menjadi motor atau agen dalam setiap gerakan sosial. Karena itu, tak heran jika mereka kemudian di beri label “agent social of change”.
Sebutan yang di sandang mahasiswa ini selayaknya dapat dipahami dan dijalankan dengan sebaik-baiknya. Interpretasi pemahaman mahasiswa terhadap arti agen sosial nantinya akan mempengaruhi persepsi masyarakat yang kritis terhadap pola pikir. Sebagai bagian dari kader intelektual, gagasan serta kritik yang membangun dari mahasiswa sangat diharapkan guna turut serta dalam pembangunan daerah. Dalam hal ini ’gagasan briliyan’ dari mahasiswa yang berasal dari kabupaten Demak.
Seiring berjalannya waktu, Demak lambat laun menjadi daerah pengekspor ’benih-benih pemimpin baru’. Tiap tahun, Demak mengirimkan ribuan calon-calon intelek muda yang berasal dari pelosok-pelosok desa ke daerah lain seperti di Semarang dan sekitarnya. Benih-benih Pemimpin baru itu nantinya yang akan menjadi pemegang tombak singgasana mahkota kadipaten. Potensi civitas akademika yang hijrah di daerah lain sangatlah besar. Terbukti, mahasiswa Demak mendominasi setiap kelas di bangku perkuliahan di tempat penulis menempuh sarjana strata satu (IAIN Walisongo-Semarang).
Namun, masalahnya dewasa ini terlanjur menjadi kebiasaan yang salah. Yakni lemahnya follow up atas pengiriman calon intelektual muda. Sehingga banyak diantara mereka memilih hijrah ke daerah lain guna mencari masa depan yang lebih mumpuni. Selain itu, pola penjaringan bibit-bibit unggul yang berguru di daerah lain tidak sepenuhnya ditemukan. Kesulitan beradaptasi dengan iklim pemerintahan di Demak juga turut menambah kesulitan penjaringan itu. Tolok ukur dalam menjaring serta memilah-milah calon pemimpin masa depan akan sangat mudah ditemukan tatkala dalam prosesnya berorganisasi. Calon pemimpin sejati akan terseleksi dengan sendirinya.
Berpijak dari sini, Seharusnya potensi besar dari mahasiswa ’ekspor’ dapat menjadi sebuah organisasi atau partai yang dapat berpartisipasi dalam proses berdemokrasi. Atau bila tidak membentuk suatu wadah perkumpulan mahasiswa ’ekspor’ yang permanen dari daerah asalnya. Pembentukan wadah semisal Ikatan Mahasiswa Demak (IMADE) yang berdiri beberapa tahun silam, hanya berjalan di tempat. Peran mahasiswa dalam menebarkan spirit agen sosial seakan layu ditelan globalisasi. Kini harapan itu seakan sirna ditelan romantisme sejarah masa lalu. Kondisi diperparah dengan peran Pemerintah Kabupaten Demak dalam men-tarining organization dan atau membantu pendanaan kegiatan IMADE tidak dapat dipastikan.
Untuk itu, kesadaran dari Mahasiswa dan Pemerintah Demak lah yang kali pertama dibenahi. Mahasiswa harus sadar betul bahwa pemudalah tumpuan bagi daerahnya dan bagi negaranya. Karena di tangan pemudalah roda estafet kepemimpinan akan diambil alih. Roda kepemimpinan mahasiswa daerah dapat berjalan dengan maksimal manakala didukung oleh peran Pemerintah yang maksimal pula. Kedua, dengan menerapkan program jangka panjang. Disini dimaksudkan agar Pemerintah memperoleh bibit-bibit unggul dengan memantau serta mencermati calon-calon jangkar pemimpin Demak ini. Sehingga nantinya ditemukan kader-kader militan penerus bangsa. Ketiga, Titik balik keberhasilan mahasiswa dalam latihan kepemimpinan terletak pada kedisiplinan serta keuletan dalam menjalankan roda organisasi. Dan organisasi yang dipimpinnya semisal IMADE menjadi saksi sejarah yang nantinya dapat dijadikan pijakan dalam pemberdayaan berkelanjutan.
Akhirnya, Dengan sepenggal bait lagu ’Darah juang’ pulalah semangat mengembalikan kembali roh atau spirit agen social of change yang mati suri ke singgasananya harus lebih diruwat. Tuntutan sekarang ini bukan hanya sebatas wacana saja. Tetapi lebih dari itu, wacana keilmuan kemudian diapresiasikan dalam bentuk atau tindakan yang nyata sebagai simbol peduli kepada daerah Demak.

 
>>>Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) akan menyelenggarakan Rukyatul Hilal penentuan awal Ramadhan 1433 H pada Kamis (19/7) sore bertepatan dengan 29 Sya'ban 1433 H di berbagai titik di Indonesia. Warga Nahdliyin dihimbau dapat berpastisipasi dalam kegiatan tersebut >>>Kritik, saran, informasi atau artikel dapat dikirimkan kepada kami melalui email: redaksi@nu.or.id. Tuliskan subyek atau judul artikelnya untuk memudahkan redaksi.