Pages

Ekspresi Nazar Nurdin

Foto Nazar Nurdin ketika presentasi dalam lomba esai nasional hukum di fakultas syariah UIN Malang tahun 2010

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 23 Februari 2012

Calo Sosial

Kodrat mahasiswa sejatinya terlahir dari trah yang suci. Status sosial yang diemban mahasiswa masih ‘ganas’ untuk ukuran masyarakat Indonesia. Mahasiswa dianggap kawah candradimuka sebagai sosok berpengetahuan, intelektual, calon pemimpin besar, dan banyak lagi lainnya. Konon, apapun kondisi yang menerpa mahasiswa, ia tetap menempati posisi khusus. Saat ini, proporsi ini masih berlaku, dan belum terdengar suara rakyat untuk melawan hegemoni itu.
Kendati demikian, perilaku mahasiswa mengandung sikap yang multi tafsir. Satu sisi, tindakan positif mahasiswa dengan melandaskan pada idealisme yang cukup tinggi, menolak sogokan dari pemangku kepentingan. Idealisme menjadi dasar untuk menolak sikap pragmatisme. Di sisi lain, ada sebagian mahasiswa yang mengambil sikap rakus. Selagi mahasiswa, ia memakai identitasnya demi mengeruk keuntungan. Kekuasaan yang diperoleh pun kadangkala dijadikan ajang pelampiasan hasrat yang terpendam. Dan pola percaloan seperti ini yang lantas menjadi benih ‘suci’ koruptor di masa depan.
Jadi secara sederhana, mahasiswa bukan hanya sebagai agen sosial, tapi juga sebagai calo sosial demi mengeruk keuntungan. Seperti calo, mahasiswa juga lihai menawarkan sesuatu kepada seseorang kemudian meminta imbalan yang lebih. Caranya pun lebih praktis, terhormat, dan tentu dengan cara yang elegan.   
Mahasiswa sebagai agen perubahan sosial (agen social of change) dikenal rasis dengan aksinya turun basis ke jalan, juga sebagai simbol perlawanan atas kediktatoran penguasa. Maka, ketika penguasa melakukan diskriminasi hak sipil, mahasiswa siap memberi peringatan dini. Pun dengan jebolan kampus yang menjadi bakal koruptor di negeri ini. Kondisi sosial yang berbeda tentu akan membawa angin revolusi yang berbeda pula dengan kondisi kampus. Ruang yang lebih luas akan memaksa diri untuk berfikir bagaimana mendapatkan keuntungan dari ruang itu. 
Berbagai cara dilakukan, dengan cara mengabdikan diri, merampok, bahkan ‘memperkosa’ kebijakan yang menguntungkan kantongnya. Terpaan kampus terhadap individu menjadi kunci kepemimpinan masa depan. Pembinaan yang baik akan memanen hasil yang baik pula. Sebaliknya, pembinaan yang buruk secara tidak langsung menjadi donatur penyumbang kebobrokan di negeri ini.

Kamis, 16 Februari 2012

Gus Dur yang Kontroversial


Gus Dur adalah sosok yang luar biasa dan fenomenal. Seluruh sisa hidupnya dipersembahkan untuk rakyat. Bahkan dalam kondisi darurat –menjelang wafat-, Gus Dur selalu berfikir untuk rakyat Indonesia. Ia bukan saja ‘guru besar’ kaum sarungan, melainkan guru besar bangsa Indonesia. Bapak pluralisme Indonesia. 
Satu hal yang pasti, Gus Dur berjuang dengan penuh kejujuran serta keikhlasan. Perjuangannya tidak dilakukan untuk memperoleh jabatan ataupun popularitas. Jamak dari kita berjuang hanya mencari jabatan sekaligus mencari   ketenaran. Tapi, ini tidak berlaku bagi Gus Dur. Meski pada akhirnya ia dikecewakan oleh para ‘sahabat’nya sendiri, di caci maki, dijadikan ajang pelampiasan oleh banyak kalangan, Gus Dur tidak pernah marah ataupun ingin membalaskan dendamnya.
Melalui buku ini, Sumanto al-Qurtuby dengan kolom-kolom esainya ingin sesekali mendedikasikan buku ini sebagai bentuk pengabdian kepada sang guru bangsa. Sumanto pun sadar, ia bukan sebagai anak biologis sang bapak pluralisme ini. Ia juga bukan bagian dari kerabat dan saudara-saudaranya. Bukan pula tetangganya dan bukan ‘santri’ ngajinya. Ia juga bukan orang yang mendapatkan ‘syafaat’ dari Gus Dur  untuk menduduki jabatan-jabatan politis-strategis.
Ia juga bukan orang yang diuntungkan ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden, juga bukan kelompok yang mendapatkan keuntungan politik dan material dari Gus Dur. Tapi, Sumanto mengakui sebagai salah satu ‘anak idelogis’ Gus Dur yang mencoba mengabdikan diri kepada sang inspirator yang telah memberikan rujukan tentang pemikiran-pemikiran yang inklusif-pluralis  yang melintas batas ideologi, agama dan etnis (hlm. xliii).
Dalam buku ini, disajikan pelbagai fenomena menarik ketika Gus Dur menjabat sebagai orang pertama di negeri ini. Sesaat ketika Gus Dur diambil sumpah sebagai Presiden RI ke-4, ia menegaskan bahwa hanya mereka yang mengerti dan memahami hakikat demokrasi yang mampu mengamalkan, memelihara dan menegakkan demokrasi. Dalam pandangannya, ia mendasarkan prinsip demokrasi pada tiga hal; kebebasan, persamaan dan musyawarah. Ketiga konsep ini diadopsi oleh Gus Dur dari gerakan anti diskriminasi Mahatma Gandi, dan rumusan Ali Abdurraziq.
Gus Dur sekali lagi memang kontroversial. Selama menjadi presiden, ia membubarkan Departemen Penerangan (Deppan) dan Departemen Sosial (Depsos). Ia mengaggap kedua Departemen itu telah menyalahi Konstitusi dan prinsip demokrasi itu sendiri. Sehingga, muncul penolakan dan kritik keras dari berbagai kalangan. Lebih heboh lagi, Gus dur juga berinisiatif mencabut TAP MPR No 25 MPRS Tahun 1966 tentag PKI dengan mengeluarkan Dekrit Presiden. Dari sinilah, pemerintahan Gus Dur tidak mendapat dukungan dari TNI, seruan fatwa Mahkamah Agung, hingga kemudian MPR menggelar sidang Istimewa untuk melengserkan Gus Dur tanpa kehadiran sang Presiden. Sehingga, dari sinilah sang presiden dijungkalkan secara politis dari kursi presiden di negeri ini dengan disertai isu skandal Buloggate.
Lepas dari itu, dalam buku ini Sumanto dengan jeli memetakan pola pemerintahan sang kiai ini. Namun, sebagai ‘anak ideologis’nya nampaknya Sumanto kurang proporsional dalam mengurai tindakan-tindakan Gus Dur yang terbilang kontroversial. Meski, dalam buku setebal 197 halaman ini pula ia dengan tegas mencoba berlaku proporsional.
Akhirnya, Gus Dur adalah Gus Dur. Ia juga manusia seutuhnya yang tidak luput dari sifat kelupaan dan kesalahan. Semoga, amal bhaktinya diterima disisinya. Amin. [Nazar Nurdin

Judul Buku      : SEMAR DADI RATU; Mengenang Gus Dur Kala Jadi Presiden
Penulis            : Sumanto Al-Qurtuby
Editor             : Tedi Kholiludin
Penerbit           : Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang Jawa Tengah
Cetakan           : Pertama, Agustus 2010
Harga             : Rp. 25.000,00
Tebal Buku      : zlix + 197

DEMOGRAFI KEBEBASAN BERAGAMA


Ada sebuah riwayat dari Ibnu Abbas tentang pengusiran terhadap Bani Nadlir dari Madinah atas tuduhan penghianatan yang dilakukan. Di antara mereka, ternyata ada anak-anak muda dari kaum Anshar yang berada dalam kelompok bersama orang-orang Yahudi. Melihat kejadian ini, sebagian kaum Anshar kemudian berkata, “Jangan kita biarkan anak-anak kita bersama mereka.” Cerita ini termasuk satu dari sekian riwayat yang menjadi sebab turunnya QS al-Baqarah: 256. Ayat ini pun lantas dijadikan pondasi tekstual mengenai kebebasan beragama, (M. Najibur Rohman, 2010).
Bahkan dalam suatu waktu, Nabi Muhammad dikejutkan dengan berita yang memuat seorang non-Muslim dibunuh oleh seorang Muslim. Mendengar ini, Nabi sangat marah. Beliau bersabda, "Barangsiapa yang menyakiti non-Muslim yang berdamai dengan Muslim, maka aku memusuhinya, dan orang yang memusuhinya, maka di hari kiamat, dia bermusuhan denganku," (HR Ibnu Masud). Dalam keterangan hadis lain ditegaskan bahwa, “barangsiapa yang membunuh non-Muslim tanpa alasan yang benar, maka Allah benar-benar melarang baginya masuk surga,” (HR Ibnu Umar).
Demikianlah secara tegas ajaran Islam ketika menjaga kebebasan beragama. Ia membentengi dengan cara-cara kemanusiaan. Akibatnya, umat Islam tidak diperkenankan memaksakan agama kepada penganut agama lain, kepada orang lain. La ikraaha fi al-diin, tidak ada paksaan di dalam agama. Prinsip kebebasan inilah yang kemudian mendasari pemikiran-pemikiran progresif untuk menempatkan agama dalam ruang yang lebih harmonis.
Di Indonesia, kebebasan beragama diatur sedemikian rupa dalam konstitusi negara. Undang-Undang Dasar memberi penjelasan kepada semua orang untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Pancasila juga serupa, ia yang terus mengkampanyekan bahwa “Negara Indonesia berlandaskan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Relevansi dari rumusan dasar itu kemudian dibingkai pemerintah dengan membentuk sebuah departemen yang khusus menangani masalah Agama dan keyakinan, Kementerian Agama (dulu Depag). Sayangnya, dalam hal ini pemerintah nampak tidak adil. Ia hanya menghargai dan mengakui keberadaan agama-agama besar yang mempunyai basis massa dan agama yang mempunyai legitimasi dalam menentukan arah stabilitas politik.
Pemerintah agaknya membatasi hak masyarakat sipil dengan membingkai agama-agama besar dalam naungan yang direstui negara, alias legal, sah. Sedangkan agama-agama lain, semisal agama lokal, agama bumi, dianggap ilegal. Dari sini, bisa dilihat ketika pemerintah memberikan pengakuan resmi dalam bentuk perwakilan di kementerian Agama kepada enam agama besar: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha, dan Konghucu. Selain agama-agama itu, nampak pemerintah memilih bersikap acuh.
Memang tidak ada data statistik yang bisa diandalkan ketika menelisik wawasan keberagamaan yang dianut warga. Data dari laporan kebebasan beragama Internasional yang diterbitkan Biro Demokrasi, Hak-Hak Asasi dan Perburuhan menunjukkan bahwa 87 persen populasi adalah Muslim; 6 persen Protestan; 3,6 persen Katolik; 1,8 persen Hindu; 1 persen Buddha; dan 0,6 persen memeluk keyakinan ‘lain’, termasuk di dalamnya kepercayaan tradisional penduduk asli, kelompok Kristen lain, dan Yahudi. Meski demikian, komposisi pemeluk agama di negara ini lebih cenderung pada permasalahan politis. Betapa tidak, pemeluk agama Kristen, Hindu, dan pemeluk keyakinan minoritas lain mempercayai statistik itu mengecilkan angka yang sesungguhnya dari jumlah warga non-Muslim.
Hal yang paling nampak ketika Hukum Positif mengharuskan warga negara yang sudah dewasa untuk mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang di dalamnya mewajibkan untuk dicantumkan agama yang dipeluk seseorang. Pada masa itu, tidak ada pembicaraan yang kompromistis. Seperti halnya kaum animis ataupun ateis yang dipaksa harus mengakui salah satu agama tertentu. Kenyataan dari yang ada, banyak dari mereka yang dicatat sebagai Muslim, karena Islam adalah agama mayoritas.
* * * * * * * * *
Padahal sebelas tahun lalu, Indonesia telah meratifikasi lahirnya Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang didalamnya memuat hak kebebasan beragama. Indonesia juga telah meloloskan terbentuknya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Setidaknya lewat dua aturan hukum itu, payung hukum terkait Hak Asasi Manusia menjadi kian jelas. Namun, ada anggapan bahwa penyelesaian konflik HAM hanya bersifat semu. Padahal negara, secara resmi, mengakui HAM yang tertuang dalam salah satu pasal UU HAM. Lebih dari itu, Indonesia pun telah masuk sebagai bagian dari dunia yang juga menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, meski ia belum meratifikasi Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (the International Co­venant on Civil and Political Rights).
Tak pelak, aturan yang mengundang ‘diskriminalitas’ itu digugat berbagai kalangan. Lewat Mahkamah Konstitusi, mereka yang merasa dirugikan menggugat Undang-undang No. 1/PNPS/1965 yang genesisnya berasal dari Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. PP ini sendiri ditetapkan oleh Ir. Soekarno sebagai Presiden RI di Jakarta pada 27 Januari 1965.
Memang dalam banyak hal, isi dari PNPS 1965 ini sangat dilematis dan rancu. Satu sisi, ia terdapat upaya melindungi kebebasan beragama. Akan tetapi, di sisi lain, ia lebih mengarah pada "intimidasi" kepada kelompok minoritas. Pada penjelasan umum item 2 misalnya, disebutkan, "di antara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan agama-agama yang ada.”
Di sinilah mengapa problem yang bersumber dari PNPS No.1 Tahun 1965 ini muncul dan selalu bermasalah, bersifat dilematis. Meski pada sidang di MK tahun lalu , gugatan mencabut UU itu ditolak secara judisial review. Namun, bagi mereka yang tetap mempercayai UU ini dihapus, masih ada sosial review yang justru jauh lebih penting daripada landasan hukum. Maka, di sinilah perlu pemetaan yang jelas terkait keberpihakan negara terhadap jaminan kebebasan beragama. Apakah negara serius melakukan demografi kebebasan beragama? Jika iya, hal ini pada akhirnya akan berimplikasi pada kedinamisan masyarakat Indonesia, pada agama-agama ketika menyelesaikan konflik yang ada. 
Nazar Nurdin, peneliti di Walisongo Reseach Institut Semarang

 
>>>Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) akan menyelenggarakan Rukyatul Hilal penentuan awal Ramadhan 1433 H pada Kamis (19/7) sore bertepatan dengan 29 Sya'ban 1433 H di berbagai titik di Indonesia. Warga Nahdliyin dihimbau dapat berpastisipasi dalam kegiatan tersebut >>>Kritik, saran, informasi atau artikel dapat dikirimkan kepada kami melalui email: redaksi@nu.or.id. Tuliskan subyek atau judul artikelnya untuk memudahkan redaksi.