Ada sebuah wacana yang cukup menarik muncul dalam
Seminar Nasional bertajuk “Deradikalisasi Terorisme dalam Perspektif Perguruan
Tinggi Islam” yang diselenggarakan Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo
Semarang (17/11). Seminar Nasional itu
mendatangkan Ulil Abshar-Abdalla (JIL), Muslih (BNPT) dan Prie GS (Budayawan).http://islamlib.com/id/artikel/bahasa-terorisme-itu-mudah-dipahami
Diskusi yang dipandu Agus Nurhadi ini hendak menyoroti
lebih jauh bagaimana posisi negara, perguruan tinggi dan masyarakat dalam
menanggulangi tindak terorisme. Muslich dari Badan Nasional Penanggulangan
Teorisme (BNPT), didaulat menjadi nara sumber pertama untuk menyampaikan materi-materinya.
Dalam uraiannya, ia menggarisbawahi bahwa negara
melaui BNPT telah serius menggalakkan penanggulangan terorisme dengan berbagai
pendekatan. Lewat paket hukum UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, lembaga negara yang berisikan dari unsur-unsur Ormas dan
Pemerintah ini mempunyai konsep gerakan deradikalisasi sebagai gerakan
nasional. BNPT mengambil langkah ini karena terorisme sudah berkembang
sedemikian rupa, sehingga membutuhkan obat penawar untuk kembali menyadarkan
masyarakat yang terjerumus dengan faham radikal ini.
Secara sederhana,
deradikalisasi memuat konsep deideologisasi, yang merupakan upaya untuk memutus
proses penyebaran ideologi. Kita tahu bahwa mengubah ideologi ataupun keyakinan
seseorang/kelompok tidak mudah. Cara mengubahnya pun tidak boleh dilakukan
secara serampangan. Untuk itu, perlu sekali dirumuskan suatu konsep
deradikalisasi yang didalamnya memuat pemahaman terkait ajaran-ajaran Islam
yang berupaya menghapuskan pemahaman yang radikal terhadap ayat-ayat Al- Qur'an
dan Hadist, khususnya berkaitan dengan ayat atau hadist yang berbicara tentang
konsep jihad, perang melawan kaum kafir dan seterusnya. Perumusan ini lebih
lanjut, menisbahkan pendekatan agama dalam program deradikalisasi merupakan salah
satu solusi yang lebih mencerahkan ketimbang menggunakan kekuatan senjata (Abu
Rokhmad, 2011).
Yusuf Qardhawi menerjermakan kata
radikal dengan al-tatharruf, yang artinya
berlebihan. Kata al-tatharruf awalnya dipergunakan untuk hal-hal yang konkret, berlebihan
dalam berdiri, duduk dan berjalan. Kemudian, penggunaannya dialihkan untuk hal-hal yang
bersifat abstrak, seperti berlebihan beragama, berpikir dan berperilaku. Dengan demikian,
radikalisme keagamaan berlebihan dapat diterjemahkan menjadi al-tatharuf
al-diniy, lawannya adalah jalan tengah atau moderat (wasathiyah), yang dalam hal
ini bisa diistilahkan dengan konsep deradikalisasi, (Yusuf Qardhawi, 2004: 23).
Dalam rangka memerangi terorisme itulah, konsep deradikalisasi harus dijadikan sebagai "kontra-ideologi terorisme" yang melembaga (dan membudaya) dalam kehidupan
masyarakat, sampai pada lapisan terbawah. Konsep deradikalisasi perlu juga disokong
komitmen pemerintah dengan meniadakan ketidakadilan sosial dan ekonomi
masyarakat, (Romli Atmasasmita, 2011). ‘Meniadakan ketidakadilan sosial dan
ekonomi’, sama artinya dengan salah satu memutus mata rantai radikalisme dan
terorisme.
Ulil
Abshar-Abdalla melanjutkan jalannya diskusi dengan mencoba merumuskan, bahwa
kalangan teroris menyadari pentingnya penggunaan bahasa sebagai simbol
komunikasi. Menurutnya, bahasa yang acapkali disampaikan para teroris sangat
mudah difahami oleh khalayak ramai, sehingga menciptakan peluang-peluang untuk
tumbuh dan berkembangnya tindak terorisme di masa-masa mendatang.
Ulil kemudian mengistilahkan
ideologi kaum radikal itu dengan ideologi yang sangat serius dan canggih.
Bahasa yang dipakai adalah bahasa ‘amiyah (umum), di mana semua orang bisa
leluasa memahami. Bahkan, ketika menghadapi ideologi semacam itu, kita dituntut
untuk berhati-hati. “Jangan dikira bahwa ideologi mereka dangkal, mereka
mempunyai ideologi yang sangat hebat. Kalau kita tidak siap jangan heran kalau
kita kalah argumen dengan mereka,” tandasnya.
Kaum radikal menawarkan jalan keluar yang radikal dengan
mendasari pandangan hidup yang cukup berarti. Discursus yang dipakai selalu
menekankan sebagai musuh, sehingga tingkat pengembangan wacana mereka dengan
cepat berkembang. Ini berbeda di tataran perguruan tinggi Islam –UIN, IAIN,
STAIN-- yang mempunyai diskursus sebagai teman, yang justru pada sisi lain
meredupkan wacana keagamaan itu sendiri. Kaum radikal berprinsip, makin besar
musuh yang dihadapi maka eksistensi gerakan mereka dengan sendirinya semakin
besar. Maka, tidak mengherankan jika banyak kaum muda yang direkrut menjadi
jamaah terorisme. Inilah yang membedakan kita dengan mereka.
Meski demikian, peranan perguruan tinggi Islam tetap
mempunyai peranan besar untuk menangkal paham radikalisme-teorisme. PTAI
mempunyai signifikansi besar untuk merubah paradigma itu dengan peranan civitas
akademika untuk mengajarkan ajaran yang damai dan toleran kepada masyarakat. Civitas
akademika juga dituntut untuk menyampaikan ajaran yang toleran -yang
diperolehnya di kampus- tanpa adanya ajaran-ajaran yang bercampur paham
radikal. Kritik wacana keagamaan di perguruan tinggi harus dikembangkan, agar
ia tidak mudah kembali dengan pemahaman yang sempit dan saklek.
Perlu digarisbawahi bahwa terorisme adalah ujung dari
radikalisme. Terorisme bermula dari ideologi radikal. Ulil Abshar Abdalla mengatakan, kalangan fundamentalis akan terjebak pada upaya
interpretasian makna al-Qur’an secara sempit, literal, dan saklek. Sehingga,
cara pandang yang semacam itu akan menghantarkan golongan tersebut menuju
wilayah gerakan radikalisme, (Justisia: 2003: 6).
Sementara
itu, Prie GS, budayawan asal kota lumpia ini melengkapi diskusi ini dengan
pandangan yang berbeda. Ia menamsilkan tindakan radikalisme-teorisme dengan
gambar-gambar inspiratif. Menurutnya, radikalisme dimulai dari pandangan hidup
sederhana, di mana seseorang tidak menyadari bahwa tindakan yang dilakukan
merupakan cerminan dari sikap radikal. Foto-foto kekerasan manusia terhadap
makhluk ciptaan Allah lainnya turut dipersembahkan kepada para peserta diskusi,
yang kali ini sukses meleburkan suasana dengan suasana penuh gelak tawa.
Budayawan
nyentrik ini juga menilai radikalisme muncul dimana saja, kapan saja dan
dilakukan oleh siapapun. Siapapun orangnya bisa leluasa menggunakan cara ‘radikal’
tanpa tahu bahwa itu sebagai perilaku radikal. Pada ranah sosial-keagamaan,
tindakan radikal muncul sebagai suatu ekspresi keagamaan yang diyakini sebagai
kebenaran. Akhirnya, dengan penuh semangat gelak tawa dan oplos meriah dari peserta, maka berakhirlah diskusi yang dihelat di
Auditorium 1 kampus 1 IAIN Walisongo Semarang ini.