Pages

Ekspresi Nazar Nurdin

Foto Nazar Nurdin ketika presentasi dalam lomba esai nasional hukum di fakultas syariah UIN Malang tahun 2010

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 04 Agustus 2013

Dihukum Lebih Berat, Slamet Sugito Ajukan Kasasi

SEMARANG – Dihukum lebih berat pada Pengadilan Tinggi (PT) Semarang membuat Slamet Sugito gusar. Kali ini, pihaknya melayangkan nota keberatan kepada Mahkamah Agung RI untuk meninjau ulang putusan-putusan yang ada dibawahnya, termasuk putusan PT terkait kasus korupsi proyek rehabilitasi lift di Gedung Keuangan Negara (GKN) Semarang, tahun anggaran 2007-2008.
Pada putusan PT itu, Slamet dihukum empat tahun penjara, denda Rp 100 juta atau dua bulan kurungan, dan uang pengganti kerugian Negara senilai Rp 85 juta. Putusan PT keluar pada tanggal 22 Mei 2013.  Sementara dalam putusan tingkat pertama, ia dihukum tiga tahun, dengan denda dan uang pengganti yang sama. Putusan pertama ini dikeluarkan hakim pada tanggal 28 November 2012.
Pendaftaran memori kasasi mantan kepala bagian rumah tangga GKN Semarang itu teregister perkara dengan nomor 18/Kasasi/Akta.Pid.Sus/2013/PN.Tipikor.Smg.
Karena mengetahui terdakwa banding, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Semarang menyiapkan perlawanan dengan menyusun kontra memori kasasi. Pada pokokonya, kontra memori kasasi ini memohon kepada MA agar menerima permohonan kasasinya, dan menolak kasasi yang diajukan terdakwa.
“Selain itu, meminta agar pidana penjara, denda, uang pengganti beserta barang bukti agar dikabulkan sesuai dakwaan primer JPU,” tulis JPU Sugeng dalam kontra memori kasasi.
Kontra Memori Kasasi didaftarkan pekan lalu pada tanggal 15 Juli 2013. Kontra Materi itu teregister perkara dengan Nomor Kasasi 18/Kasasi/Akta.Pid.Sus/2013/PN.Tipikor.Smg jo No. 28/Pid.Sus/2013/PT.Tipikor.Smg jo Nomor 87/Pid.Sus/2012/PN.Tipikor.Smg
Seperti diketahui, Slemt Sugito dihukum bersalah karena telah melanggar dakwaan subsider pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Slamet dinilai tidak cermat dalam melaksanakan tugas memeriksa lift yang dikerjakan CV Mutiara Abadi, milik Setia Budi (terdakwa lain).
Slamet juga terbukti telah memenangkan Mutiara Abadi sebagai pemenang lelang, meski CV Mutiara Abadi tidak memenuhi syarat kualifikasi karena tidak punya kemampuan pengadaan barang serta keuangan perusahaan yang tidak bagus.
Rehabilitasi lift GKN Semarang II sendiri berlangsung dalam 2 tahun anggaran, 2007 dan 2008 yang seluruhnya dikerjakan CV Mutiara Abadi. Proyek tahun 2007 dilaksanakan dengan anggaran Rp1,28 miliar dan 2008 senilai Rp 1,36 miliar. Namun audit BPKP menemukan harga lift terpasang pada 2007 hanya Rp 352 juta dan pada 2008 hanya Rp 613 juta.
Slamet juga diketahui telah menerima uang gratifikasi Rp 80 juta dari Setia Budi. Saat itu, terdakwa berperan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) merangkap Pejabat Pembuat Komitmen (PPKom). (nzr)

Buat Proposal Fiktif, Mahasiswa ini Dibui

SEMARANG – Kasus proposal fiktif untuk mendapatkan aliran dana Bantuan Sosial (bansos) dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah kian menarik untuk disimak. Betapa tidak, pembuatan proposal itu dilakukan oleh mahasiswa, yang semestinya masih harus menjalani masa kuliah. Akibat perbuatannya, ia akhirnya dibui. Ulahnya itu pun berbuah sidang di Pengadilan Tipikor Semarang.
Siapa dia? Adalah MZ (21), salah satu mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang. Mario membuat 10 jenis proposal dengan nilai nominal Rp 10 juta hingga berjumlah total Rp. 100 juta.
“Saya tidak tahu jika nama saya ada dalam proposal itu, apalagi jadi ketua. Tanda tangan saja tidak apalagi menerima uang. jadi semua proposal atas nama saya itu tidak benar, fiktif semua,” kata Bambang Darmadi, seorang guru yang dicatut namanya itu. Bambang hadir untuk memberi kesaksian atas permintaan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan negeri Semarang, Kamis (1/8).
Bambang mengatakan jika dua proposal fiktif yang terdapat namanya adalah proposal pembinaan usaha dini Bulu Tangkis sebagai bendahara dan pembinaan Tenis Meja sebagai ketua. “Saya tidak tahu soal proposal itu, dulu terdakwa pinjam Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas perintah Sigid Yulianto dengan dalih isi biodata. Dan saya juga tidak tahu jika uang itu cair dan untuk kegiatan atau tidak,” tambahnya.
Hal yang sama diungkapkan tiga saksi lain yang juga dicatut namanya didatangkan JPU. Ketiganya adalah Sumarno, Yogi Muhammad dan Siti Mahmudah.
Dalam keterangannya, mereka mengaku tak tahu menahu soal 10 proposal yang mendapatkan aliran dana tersebut. Para saksi kompak tidak pernah membubuhkan tanda tangan pada proposal, meski nama mereka sebagai ketua.
“Saya dituduhi penyidik polisi sebagai ketua. nama saya ada disana sebagai ketua, padahal saya tidak pernah menandatangi dan membuat proposal itu,” kata para saksi ditanya hakim bergiliran.
Bahkan, saksi Yogi yang merukan temannya mengaku diminta untuk membuat rekening baru. Yogi juga tidak tahu ihwal namanya dicatut menjadi ketua dalam proposal untuk lomba Panahan. Bahkan, Yogi juga diiming-imingi bahwa uang yang sesungguhnya proposal itu diklaim uang beasiswa.
“ Saya dikasih tahu Riyan (teman terdakwa) bahwa uang cair. Tapi saya kemudian bertanya itu uang beasiswa, jabwabannya tidak. saya malah dikasih uang Rp 300 ribu setelah ada uang di rekeningnya,” ungkapnya.
Atas kesaksian para kenalannya itu, Mario tidak keberatan. Dalam perkara ini, ia didakwa melanggar pasal 2 (1) jo pasal 18 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan dganti menjadi UU nomor 20 tahun 2001 jo pasal 64 (1) KUHP. Subider, Pasal 3 UU yang sama. [nzr]

Awal Lebaran, Pembunuh SPG Cantik Disidang

SEMARANG - Kejaksaan Negeri menyatakan berkas perkara pembunuhan terhadap Sales Promotion Girl (SPG) Amalia Almas Adzani alias Amel (22) dinyatakan lengkap atau P21. Kelengkapan berkas itu dipastikan setelah jaksa peneliti yang memeriksa terdakwa Pisa Al-Pairun (18) sudah terdapat alat bukti yang cukup kuat untuk disidangkan. Artinya, Pisa akan duduk sebagai terdakwa.
Kepala Seksi Pidana Kejaksaan Negeri Semarang, Mustaqpirin mengihwalkan pernyataan tersebut. Bahkan, berkas Pisa yang sudah P21 itu sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Semarang.
“Berkas sudah kami limpahkan di Pengadilan negeri Semarang. Tanggal 25 Juli 2013 lalu sudah kami limpahkan,” kata Mustaqfirin di kantornya, Selasa (30/7). Setelah hari raya Idul Fitri, Pisa sudah bisa disidangkan.
Dikatakannya, jika nantinya tersangka Pisa akan dikenakan dakwaan pasal pembunuhan berencana disertai dengan tindak pencurian. “Nantinya kita akan dakwa pasal 339 KUHP,” timpalnya.
Pasal 339 sendiri berbunyi pembunuhan yang diikuti, disertai  atau didahului oleh sesuatu perbuataan pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiap atau mempermmudah pelaksanaannya diancam dengan pidana penjara seumur hidup, atau paling lama dua puluh tahun penjara.
Pisa adalah warga Kampung Gombol RT 3 RW 2, Karangjaya, Tirtamulya, Kabupaten Karawang Jawa Barat. Ia bekerja sebagai buruh bangunan di sekitar kompleks kos Amel, di Jalan Lempersari nomor 41 Semarang.
Ditambahkannya, bahwa Amel terbunuh pada hari Minggu, (19/5) lalu dengan hanya memakai kaos. Tersangka Pisa juga diketahui telah menyetubuhi Amel setelah dia disekap di kamarnya di lantai 2 kosnya.
Pisa sendiri mengaku tertarik dengan kemolekan Amel. Tak tahan, Pisa merencakana ndegan masuk ke kamar kos korban dengan melompati pagar. setelah berhasil masuk ke kamar dari jendela kamar kosnya, Pisa kemudian menyerang korban dari belakang.  Yakni dengan menggunakan pisau yang telah disiapkan, tersangka langsung mengorok leher Amel.
Amel juga diketahui sempat berontak dan melawan tindakan Pisa. Kemudian, dari arah depan kembali leher korban digorok dua kali. Saat melihat tubuh korban terlentang tak berdaya itulah, nafsu bejat muncul dan tidak mau menyia-nyiakannya. Ia lantas memerkosa dalam keadaan Amel sudah meninggal dunia.
Usai memerkosa, Pisa mengambil aneka barang berharga Amel dan melarikan diri.  Pisa dibekuk oleh aparat polisi pada Selasa, 21 Mei. Barang bukti yang diamankan diantaranya sebilah pisau buah untuk membunuh, sebuah buku porno milik pelaku, dua Smartphone, dua kacamata, enam korek api milik korban. [nzr]

Sabtu, 24 November 2012

KILAS BALIK SEJARAH NUSANTARA


Bagi banyak kalangan, sejarah adalah guru yang paling baik. Menganalisa sejarah bukan berarti harus meniru pola atau tindakan masa lampau, melainkan untuk menghadirkan si lain. Tanpa sejarah, hidup serasa hampa, asing. Belajar sejarah pun di niscaya mampu menghantarkan manusia melewati kesalahan yang sama, mampu memetakan posisi (tindakan) di masa mendatang.
Sejarah nusantara (Indonesia) merupakan satu hal yang sangat istemewa. Indonesia merupakan negara-bangsa yang kaya akan budaya, ras, suku, agama, bahasa. Ia memiliki panggung sejarah panjang dan berliku yang diliputi berbagai penafsiran dan kontroversi. Karena sejarah sudah lama berlalu, kiranya wajar jika klaim kebenaran sejarah (truth claim of history) atas pelbagai penafsiran marak terjadi, termasuk sejarah Indonesia.
Mestinya, sejarah tidak diperkenankan ada ‘justifikasi’ apalagi legitimasi kekuasaan. Sebab, fakta masa lalu tidak sama persis dengan apa yang terjadi dan kita bayangkan.
Bagi Gus Dur, sejarah nusantara tidak bisa hanya dibaca pada struktur kebudayaan masyarakat tertentu. Ia harus dipelajari semuanya. Nuansa mitos, dongeng, ajaran-ajaran nenek moyang yang berasal dari penjuru nusantara juga menjadi entitas yang penting. Sebab, mereka mempunyai kebudayaan tersendiri dan berbeda dengan kebudayaan lainnya.
Mitos di Jawa misalnya tentang cerita pewayangan yang melibatkan lakon pandawa dan kurawa. Konon, pandawa mewakili kepribadian yang baik. Sedangkan, kurawa mencerminkan sebaliknya. Dalam cerita itu, kurawa masih memiliki peluang untuk menjadi manusia baik, jika mereka mau berkembang seperti kaum paridawa yang telah mencapai kesempurnaan jiwa.
Dalam perjalannya, kaum paridawa berperang melawan pandawa di padang Guruserta yang secara fisik menggambarkan sisi lain dalam pergulatan budaya. Konsep tasawuf dalam tradisi Islam jawa jelas mengilustrasikan adanya pengaruh budaya pewayangan dengan konsep budaya yang dikembangkan kaum santri melalui tradisi pesantren.
Pun dengan bahasa Indonesia yang menjadi simbol pemersatu bangsa. Bahasa Indonesia berkembang menjadi alat komunikasi canggih dengan menyerap unsur daerah yang saling berbeda. Dalam hal ini, bahasa dapat menunjukkan kelenturan bertutur kata dengan menyerap kaidah-kaidah budaya setempat. Bahasa pun menjadi pionir perekat bagi kemajuan bangsa.
Selain itu, budaya nusantara memiliki keunikan kultural tersendiri. Betapa tidak, orang-orang nusantara (bugis) dengan adat sirrinya mampu memadukan dengan tepat antara capaian dan keterampilan dari barat dengan sistem etika (moralitas). Dan kombinasi itulah yang menurut Gus Dur ‘sangat dibutuhkan’ kelak oleh seluruh elemen bangsa.
Buku setebal 134 halaman ini menyajikan ulasan materi pembacaan sejarah yang cukup menarik. Selain identitas penulis buku yang ‘multi tafsir’ dan diliputi pelbagai kontroversial, buku ini dirampungkan dalam tempo 7 bulan setelah ia lengser dari bangku kepresidenan. Maka tak heran jika dalam tulisannya, ditemukan kritik-kritik yang tajam yang sejalan dari prinsip yang diyakininya.
Maka, menjadi misi penting bagi konseptor budaya kita ketika melihat proses modernisasi. Kesalahan dalam menyelami makna budaya akan berakibat fatal pada distorsi kebudayaan. Dus, kearifan lokal (local wisdom) sangat diperlukan guna melihat jejak rekam akulturasi budaya sebagai konsep budaya yang utuh, tidak dengan sepotong-potong.


Judul Buku : MEMBACA SEJARAH NUSANTARA; 25 Kolom Sejarah Gus Dur
Penulis : Abdurrahman Wahid
Editor : M. Imam Aziz
Penerbit : Yogyakarta, Lkis
Cetakan : I, 2010
Harga : Rp. 20.000,00
Tebal Buku : xx + 134
ISBN : 979-25-5307-x



Sabtu, 22 September 2012

Belajar Visual Studies

Saat ini, studi keilmuan sedang berevolusi begitu hebat. Ia tidak lagi membincang suatu hal di tataran lama yang berkecimpung dalam dunia teori-teori praksis. Ia menemukan lahan baru yang lebih nyaman dan lebih menarik untuk dikaji semua orang. Studi keilmuan tak sungkan menggeser tatanan lama, sesekali menemukan seuntai hakikat dalam posisinya yang baru. Ia bahkan memberanikan diri membuat dekolonialisasi baru. 
Tumbal rasis bias realitas menjadi suatu kebutuhan masa kini dan tak bisa terelakkan. Pemahaman tentang Tuhan (teosentris), manusia, alam, modernisme, posmodernisme, filsafat, sosiologi dan lainnya sudah terkesan basi, dan tidak lagi bisa membius publik, apalagi selama ini studi keilmuan ditampilkan dalam bentuk yang monoton.
Belajar visual studies setidaknya jadi ajang yang cukup menarik, dan cukup partisipatif.  Studi ini menampilkan corak keilmuan baru yang cukup renyah dipahami, meski masih minim referensi. Ia tidak lagi menampilkan sosok lama yang berpengaruh pada masa itu, tapi pemikiran lama direkonstruksi ulang melalui pendakian masa kini sejalan dengan arus budaya populer. T
uhan dalam pemahaman klasik dimodifikasi menjadi tuhan-tuhan dalam balutan teknologi modern. Tuhan yang disembah mulai bergeser dengan Tuhan yang digital. Kapanpun ia bisa berdengung dimana-mana, dalam perangkat teknologi canggih, dalam perangkat keras hasil olahan masa modern yang tentu sesuai arus budaya yang berkembang yang kian memberi sedikit peluang bagi kemajuan teori keilmuan lama. 
Aktivitas ritual keagamaan misalnya bisa dianalisa dengan kajian bergesernya tatanan penyucian jiwa pada suatu kondisi yang melampaui realitas keagamaan itu sendiri (hyper reality of ritual). Makna penyucian jiwa dalam kondisi ritual keagamaan cenderung diisi dengan tanda (sign), citra (Image), gaya (style), ilusi, prestise, gaya hidup (life style), pesona objek (fetishism), (Yasraf Amir Piliang, 2010). Tak pelak, studi keilmuan budaya populer pun menemukan posisi yang strategis. Ia setidaknya membutuhkan teori baru yang lebih fresh, dan mendalam. 
Selain itu, teori budaya populer pun berusaha memotong mitologi sosial terkait banyaknya klaim negatif terhadap arus budaya. Arus budaya populer tidak hanya menghenyakkan dunia keilmuan dengan evolusi kreatifnya, tapi ia juga bergerak menuju ranah praksis-ekonomis kontekstual. Visual studies berusaha memotret persoalan sosial yang saat ini tidak lagi membutuhkan jawaban teori lama dari ranah kajian keilmuan klasik. Jawaban persoalan masa kini bisa diperoleh dari teori arus budaya dari hyper postmodern, hyper kontemporer ketika persoalan memang membutuhkan jawaban secara riil. 
Belajar studi keilmuan secara mendalam semisal memang mempunyai efek domino tersendiri. Agaknya keuntungan itu kini tidak lagi sekedar berbuah alat transaksional antar manusia, transaksi dengan Tuhan, dengan alam sekitar. Studi ini pun berusaha menggali lebih jauh jawaban yang belum terselesaikan dan menjembatani peran-peran manusia kepada alam, kepada Tuhan yang maha transendental, menjadi peran yang konstruktif untuk dijadikan solusi baru atas wacana perkembangan budaya populer. 
Teori arus budaya populer diilhami dari sebuah kisah perjalanan seseorang yang merasa terkikis dengan aturan lama. Aturan lama terkesan mendiskreditkan yang lemah, terlalu ‘kelihatan’ memihak golongan tertentu yang mempunyai kuasa. Teori lama lebih dekat akan khayalan, pelipur lara bagi golongan yang tertindas. Sebaliknya, menjadi ladang ‘surga’ bagi golongan yang mempunyai otoritas kuasa di atas otoritas. Ia pun merasa tergugah untuk keluar dari belenggu itu kemudian memadukan khazanah intelektual modern, teknologi modern hasil evolusi renassaince, evolusi industri dengan seni keilmuan yang begitu kompleks. Hasilnya mencengangkan. Studi keilmuan baru yang cukup mendalam tercipta. Kondisi ilmu bias realitas (hyper realitas) keilmuan modern, namun sejalan dengan realitas sosial yang ada di tengah masyarakat. 
Adalah Yasraf Amir Piliang, sosok kelahiran Maninjau, Sumatera Barat berani membuka akses atau babak baru dalam studi keilmuan tersebut. Ia sukses menghantarkan kondisi saat ini bisa lebih bermakna. Keilmuan lama yang tidak bermakna tidak dipakai. Ia mengawal teori lama dari tataran posmodern menuju ranah seni (art) kontemporer. Olahan pikiran berdialektika dengan seni keilmuan membuatnya tahu bagaimana ilmu itu bergerak sejalan dengan perkembangan zaman. Perkembangan riset dan teknologi yang penuh dengan imajinasi sesaat membawa dia untuk melakukan auto kritik (hyper kritik) atas realitas yang ada.  
Keberadaan hyper kritik lebih mengedepankan pada suatu sikap dimana proses penghayatan lewat naluri, batin, akal sehat atas realitas menjadi pialang pembuka bagi timbulnya kegalauan jiwa. Hyper kritik selanjutnya dimanifestasikan dalam bentuk mainsheet kontemporer untuk terus mengkritisi fenomena kealaman yang bias realitas atau mengkritisi kritik yang telah ada di atas kritik baru yang lebih kontekstual. 
Kendati  demikian, peran media dan ilmu simbol menjadi inti dari pembiasan realitas. Bongkahan peran mereka dapat merepresentasikan realitas semu yang sedemikian rupa. Mitos-mitos lama yang bergelut dalam makna konotatif yang terus melindungi hidup ini yang disajikan dalam kemasan gradual, balutan seni menghasilkan bentuk baru yang hyper real. Maka, ketika kepalsuan dikemas begitu menarik dan disajikan sebagai kebenaran, ketika semiotika menjadi alat untuk mendusta, maka bagaimana pola realitas yang sejati ada pada zaman ini, (Yasraf Amir Piliang, 2003).     
Realitas sejati mungkin tinggal imajinasi. Kalaupun ada itu hanya sebuah simulasi yakni sebuah proses penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang tidak melalui asal-usul atau referensi realitasnya, sehingga memampukan manusia membuat manusia yang supernatural, ilusi, fantasi, khayali menjadi tampak nyata. 
Apalagi pada abad 21 ini mulai berkembang pandangan yang menyimpulkan realitas itu tanpa bentuk, dan bahasa adalah buah cetakan realitas. Sedangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menjadi penandingnya dengan menciptakan simulasi yang memberikan pengalaman akan hyper-realitas. Kajian visual studies menguraikan suatu kondisi post realitas yakni dunia realitas yang bersifat artifisial yang tercipta lewat bantuan teknologi simulasi dan pencitraan yang telah mengambil dunia realitas yang alamiah, (Yasraf Amir Piliang, 2010).  
Nah, belajar visual studies setidaknya memberi wahana baru terkait pola arus pengetahuan yang selalu berkembang sesuai perkembangan zaman. Perkembangan teknologi dalam ranah visual studies lebih menjadi alat candu pengkafiran bagi aktivitas keberagaman. Model pengetahuan yang terjebak pada suatu rekayasa sistemik (virtual) yang sengaja dimainkan oleh pemangku realitas. Semua cabang pengetahuan mestinya dapat diartikulasikan dengan corak pengetahuan visual studies. Gerak zaman yang dinamis tanpa diiringi capaian auto kritik membuat ilmu seakan menggantung tak tentu arah. Jangan sampai demikian.

*) Dimuat di Koran Jateng Pos, (Opini).

Rabu, 25 Juli 2012

Mari, Sayangi Ibu dan Anak!

Baru-baru ini, BP3AKB Jawa Tengah bersama Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Jawa Tengah mengadakan pelatihan gerakan sayang ibu dan anak. Pelatihan ditujukan kepada para pemuka (tokoh) agama-agama besar di Indonesia. Pelatihan sayang ibu dan anak ini dibagi dalam 3 bagian wilayah di Jawa Tengah, yakni bakorwil I digelar di kabupaten Pati untuk eks-karesidenan Pati dan Semarang; bakorwil II digelar di Solo untuk eks-karesidenan Surakarta dan Kedu; dan bakorwil III digelar di Banyumas untuk eks karesidenan Banyumas dan Pekalongan. 

Gerakan sayang ibu dan anak ini tentu menjadi suatu catatan menarik ketika kita mulai berbicara mengenai perempuan, khususnya dalam hal reproduksi. Perempuan dalam hal ini diposisikan sebagai objek kajian. Hak-hak reproduksi yang menjadi fitrah perempuan harus dijaga sebaik mungkin, agar mampu mengurangi angka kematian pada ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB).
Di Jawa Tengah, total ibu yang meninggal selama tahun 2011 adalah sebanyak 116,01 per seratus ribu kelahiran ibu. Jumlah ini lebih banyak dari tahun 2010, yakni sebesar 104,97. Data dari dinas kesehatan Jawa Tengah ini mengindikasikan bahwa dari total seratus ribu kelahiran ibu masih berpotensi besar terhadap kematian ibu.

Ibu-Bayi meninggal
Sebetulnya banyak sebab ketika membincangkan kematian ibu dan bayi. Di sini, perlu dipertegas bahwa kematian ibu bukan hanya pada saat melahirkan, melainkan juga sebelum melahirkan dan pasca melahirkan. Saat ibu mengandung atau hamil, ia memiliki risiko yang cukup tinggi terhadap kematian. 28% ibu meninggal justru terjadi saat hamil, 27% saat persalinan dan 45% saat nifas. Jadi, bukan semata saat persalinan ibu yang meninggal, ketika sang ibu sedang nifas peluang  kematian ibu juga semakin besar.
Ibu dan bayi meninggal bisa terjadi di berbagai tempat. Ia bisa meninggal di rumah, perjalanan, puskesmas ataupun di rumah sakit. Namun, berdasarkan data dari dinas Kesehatan Provininsi Jawa Tengah, kematian terbanyak justru yang berada di rumah sakit, yakni sebanyak 82%. Sementara sisanya, meninggal di perjalanan, dan di rumah.
Meski begitu, kematian di rumah sakit ini tidak semata bisa dimaknai bahwa telah terjadi ketidakberesan dalam penanganan ibu sewaktu proses persalinan. Ada juga faktor lain yang bisa turut dipertimbangkan. Ini juga bukan berarti bahwa pelayanan RS buruk, bisa juga dimungkinkan karena kurangnya tenaga medis yang ada di daerah-daerah. Terlebih di masing-masing kabupaten/kota hanya mempunyai satu rumah sakit, dan menampung ribuan orang. Sehingga, tidak mungkin, jika tenaga medis yang terbatas melayani pasien yang tidak terbatas.
Di Jawa Tengah pada tahun 2011, AKI terbanyak diraih Kabupaten Tegal, disusul Pemalang. Kedua wilayah ini menjadi penyuplai terbesar dalam hal kematian ibu. Untuk bayi, Kabupaten Pemalang menempati rating tertinggi, disusul Kota Semarang, Brebes dan kota-kota lainnya. Sementara di kota yang mempunyai fasilitas medis dan tenaga medis yang memadai, tingkat kematian ibu dan anak relatif sangat kecil. Misalnya saja, di Kota Magelang, di mana kematian ibu dan bayi relatif sangat kecil.

Mengatasi kematian ibu-anak
Mengurangi tingkat kematian ibu dan anak memang sangat sulit dilakukan. Selain butuh kekompakan lintas sektor departemen, butuh kesadaran masyarakat untuk tidak mengesampingkan proses kelahiran sang anak. Seorang suami dituntut untuk selalu mengawal keamanan sang ibu dan calon bayi.
Selama ini, masyarakat cenderung memandang perempuan yang dalam keadaan melahirkan dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Dalam perspektif ini, keliru partisipasi laki-laki dianggap sebagai suatu yang tidak penting. Untuk itu, pihak laki-laki tidak boleh enggan dalam merujuk ke tukang medis tidak segera ditujukan. Pada saat-saat itulah, calon ibu sangat menantikan pertolongan dari laki-laki.
Budaya patriarki masyarakat Indonesia juga menambah kesulitan dalam menangani masalah ini. Masyarakat cenderung memandang perempuan sebagai lebih rendah, atau dalam bahasa jawa disebut konco wingking. Relasi yang tidak seimbang ini menimbulkan bahaya (madharat) bagi perempuan, terlebih perempuan lebih rentan akan perilaku kasar dari suami. Selain itu, doktrin agama memberi peluang bagi terciptanya ketidakseimbangan itu.
Dalam agama, anak di hadapan ibu harus tunduk dan patuh. Bahkan posisi ibu tiga kali lebih tinggi dari seorang suami. Namun, ibu yang begitu besar posisinya di mata anak dikerdilkan oleh suami. Doktrin inilah yang perlu dibenahi. 

Agenda Pembenahan
Jalan bakorwil Jateng untuk menggalang dukungan dari para tokoh agama terasa penting kita untuk diapresiasi. Bakorwil sadar jika mengurangi AKI dan AKB tidak serta merta bisa ditangani oleh pemerintah. Masyarakat, terutama para pemuka agama juga mempunyai kewajiban untuk bisa menjelaskan kepada masyarakat akan pentingnya gerakan sayang pada ibu dan bayi.
Karena hidup adalah kodrat yang diberikan Tuhan kepada manusia, maka manusia harus senantiasa menjaganya. Tokoh agama bisa menjadi manifestasi bagi pemerintah untuk melakukan gerakan sayang terhadap ibu dan bayi kepada masyarakat awam. Petuah-petuah agama akan memberi sentuhan magic jika kita dibandingkan dengan penyempaian secara medis oleh pemerintah.
Untuk itulah, pelatihan tokoh agama untuk gerakan sayang ibu dan anak menjadi penting untuk terus digalakkan dan dilakukan secara berkala. Sekali lagi, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri untuk mengurangi AKI dan AKB. Diperlukan partisipasi semua pihak demi melestarikan kehidupan di atas bumi ini. Mari, sayangi ibu dan anak!



*) Dimuat di Koran Sore Wawasan, Edisi Senin, 30 April 2012 di rubrik Opini. 

Minggu, 22 April 2012

“.. BAHASA TERORISME ITU MUDAH DIFAHAMI”


Ada sebuah wacana yang cukup menarik muncul dalam Seminar Nasional bertajuk “Deradikalisasi Terorisme dalam Perspektif Perguruan Tinggi Islam” yang diselenggarakan Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang (17/11).  Seminar Nasional itu mendatangkan Ulil Abshar-Abdalla (JIL), Muslih (BNPT) dan Prie GS (Budayawan).http://islamlib.com/id/artikel/bahasa-terorisme-itu-mudah-dipahami
Diskusi yang dipandu Agus Nurhadi ini hendak menyoroti lebih jauh bagaimana posisi negara, perguruan tinggi dan masyarakat dalam menanggulangi tindak terorisme. Muslich dari Badan Nasional Penanggulangan Teorisme (BNPT), didaulat menjadi nara sumber pertama untuk menyampaikan materi-materinya.
Dalam uraiannya, ia menggarisbawahi bahwa negara melaui BNPT telah serius menggalakkan penanggulangan terorisme dengan berbagai pendekatan. Lewat paket hukum UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, lembaga negara yang berisikan dari unsur-unsur Ormas dan Pemerintah ini mempunyai konsep gerakan deradikalisasi sebagai gerakan nasional. BNPT mengambil langkah ini karena terorisme sudah berkembang sedemikian rupa, sehingga membutuhkan obat penawar untuk kembali menyadarkan masyarakat yang terjerumus dengan faham radikal ini.
Secara sederhana, deradikalisasi memuat konsep deideologisasi, yang merupakan upaya untuk memutus proses penyebaran ideologi. Kita tahu bahwa mengubah ideologi ataupun keyakinan seseorang/kelompok tidak mudah. Cara mengubahnya pun tidak boleh dilakukan secara serampangan. Untuk itu, perlu sekali dirumuskan suatu konsep deradikalisasi yang didalamnya memuat pemahaman terkait ajaran-ajaran Islam yang berupaya menghapuskan pemahaman yang radikal terhadap ayat-ayat Al- Qur'an dan Hadist, khususnya berkaitan dengan ayat atau hadist yang berbicara tentang konsep jihad, perang melawan kaum kafir dan seterusnya. Perumusan ini lebih lanjut, menisbahkan pendekatan agama dalam program deradikalisasi merupakan salah satu solusi yang lebih mencerahkan ketimbang menggunakan kekuatan senjata (Abu Rokhmad, 2011).
Yusuf Qardhawi menerjermakan kata radikal dengan al-tatharruf, yang artinya berlebihan. Kata al-tatharruf awalnya dipergunakan untuk hal-hal yang konkret, berlebihan dalam berdiri, duduk dan berjalan. Kemudian, penggunaannya dialihkan untuk hal-hal yang bersifat abstrak, seperti berlebihan beragama, berpikir dan berperilaku. Dengan demikian, radikalisme keagamaan berlebihan dapat diterjemahkan menjadi al-tatharuf al-diniy, lawannya adalah jalan tengah atau moderat (wasathiyah), yang dalam hal ini bisa diistilahkan dengan konsep deradikalisasi, (Yusuf Qardhawi, 2004: 23). 
Dalam rangka memerangi terorisme itulah, konsep deradikalisasi  harus dijadikan sebagai "kontra-ideologi terorisme" yang melembaga (dan membudaya) dalam kehidupan masyarakat, sampai pada lapisan terbawah. Konsep deradikalisasi perlu juga disokong komitmen pemerintah dengan meniadakan ketidakadilan sosial dan ekonomi masyarakat, (Romli Atmasasmita, 2011). ‘Meniadakan ketidakadilan sosial dan ekonomi’, sama artinya dengan salah satu memutus mata rantai radikalisme dan terorisme.
Ulil Abshar-Abdalla melanjutkan jalannya diskusi dengan mencoba merumuskan, bahwa kalangan teroris menyadari pentingnya penggunaan bahasa sebagai simbol komunikasi. Menurutnya, bahasa yang acapkali disampaikan para teroris sangat mudah difahami oleh khalayak ramai, sehingga menciptakan peluang-peluang untuk tumbuh dan berkembangnya tindak terorisme di masa-masa mendatang.
Ulil kemudian mengistilahkan ideologi kaum radikal itu dengan ideologi yang sangat serius dan canggih. Bahasa yang dipakai adalah bahasa ‘amiyah (umum), di mana semua orang bisa leluasa memahami. Bahkan, ketika menghadapi ideologi semacam itu, kita dituntut untuk berhati-hati. “Jangan dikira bahwa ideologi mereka dangkal, mereka mempunyai ideologi yang sangat hebat. Kalau kita tidak siap jangan heran kalau kita kalah argumen dengan mereka,” tandasnya. 
Kaum radikal menawarkan jalan keluar yang radikal dengan mendasari pandangan hidup yang cukup berarti. Discursus yang dipakai selalu menekankan sebagai musuh, sehingga tingkat pengembangan wacana mereka dengan cepat berkembang. Ini berbeda di tataran perguruan tinggi Islam –UIN, IAIN, STAIN-- yang mempunyai diskursus sebagai teman, yang justru pada sisi lain meredupkan wacana keagamaan itu sendiri. Kaum radikal berprinsip, makin besar musuh yang dihadapi maka eksistensi gerakan mereka dengan sendirinya semakin besar. Maka, tidak mengherankan jika banyak kaum muda yang direkrut menjadi jamaah terorisme. Inilah yang membedakan kita dengan mereka. 
Meski demikian, peranan perguruan tinggi Islam tetap mempunyai peranan besar untuk menangkal paham radikalisme-teorisme. PTAI mempunyai signifikansi besar untuk merubah paradigma itu dengan peranan civitas akademika untuk mengajarkan ajaran yang damai dan toleran kepada masyarakat. Civitas akademika juga dituntut untuk menyampaikan ajaran yang toleran -yang diperolehnya di kampus- tanpa adanya ajaran-ajaran yang bercampur paham radikal. Kritik wacana keagamaan di perguruan tinggi harus dikembangkan, agar ia tidak mudah kembali dengan pemahaman yang sempit dan saklek.
Perlu digarisbawahi bahwa terorisme adalah ujung dari radikalisme. Terorisme bermula dari ideologi radikal. Ulil Abshar Abdalla mengatakan, kalangan fundamentalis akan terjebak pada upaya interpretasian makna al-Qur’an secara sempit, literal, dan saklek. Sehingga, cara pandang yang semacam itu akan menghantarkan golongan tersebut menuju wilayah gerakan radikalisme, (Justisia: 2003: 6).
Sementara itu, Prie GS, budayawan asal kota lumpia ini melengkapi diskusi ini dengan pandangan yang berbeda. Ia menamsilkan tindakan radikalisme-teorisme dengan gambar-gambar inspiratif. Menurutnya, radikalisme dimulai dari pandangan hidup sederhana, di mana seseorang tidak menyadari bahwa tindakan yang dilakukan merupakan cerminan dari sikap radikal. Foto-foto kekerasan manusia terhadap makhluk ciptaan Allah lainnya turut dipersembahkan kepada para peserta diskusi, yang kali ini sukses meleburkan suasana dengan suasana penuh gelak tawa.
Budayawan nyentrik ini juga menilai radikalisme muncul dimana saja, kapan saja dan dilakukan oleh siapapun. Siapapun orangnya bisa leluasa menggunakan cara ‘radikal’ tanpa tahu bahwa itu sebagai perilaku radikal. Pada ranah sosial-keagamaan, tindakan radikal muncul sebagai suatu ekspresi keagamaan yang diyakini sebagai kebenaran. Akhirnya, dengan penuh semangat gelak tawa dan oplos meriah dari peserta, maka berakhirlah diskusi yang dihelat di Auditorium 1 kampus 1 IAIN Walisongo Semarang ini. 

 
>>>Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) akan menyelenggarakan Rukyatul Hilal penentuan awal Ramadhan 1433 H pada Kamis (19/7) sore bertepatan dengan 29 Sya'ban 1433 H di berbagai titik di Indonesia. Warga Nahdliyin dihimbau dapat berpastisipasi dalam kegiatan tersebut >>>Kritik, saran, informasi atau artikel dapat dikirimkan kepada kami melalui email: redaksi@nu.or.id. Tuliskan subyek atau judul artikelnya untuk memudahkan redaksi.