Pages

Kamis, 16 Februari 2012

DEMOGRAFI KEBEBASAN BERAGAMA


Ada sebuah riwayat dari Ibnu Abbas tentang pengusiran terhadap Bani Nadlir dari Madinah atas tuduhan penghianatan yang dilakukan. Di antara mereka, ternyata ada anak-anak muda dari kaum Anshar yang berada dalam kelompok bersama orang-orang Yahudi. Melihat kejadian ini, sebagian kaum Anshar kemudian berkata, “Jangan kita biarkan anak-anak kita bersama mereka.” Cerita ini termasuk satu dari sekian riwayat yang menjadi sebab turunnya QS al-Baqarah: 256. Ayat ini pun lantas dijadikan pondasi tekstual mengenai kebebasan beragama, (M. Najibur Rohman, 2010).
Bahkan dalam suatu waktu, Nabi Muhammad dikejutkan dengan berita yang memuat seorang non-Muslim dibunuh oleh seorang Muslim. Mendengar ini, Nabi sangat marah. Beliau bersabda, "Barangsiapa yang menyakiti non-Muslim yang berdamai dengan Muslim, maka aku memusuhinya, dan orang yang memusuhinya, maka di hari kiamat, dia bermusuhan denganku," (HR Ibnu Masud). Dalam keterangan hadis lain ditegaskan bahwa, “barangsiapa yang membunuh non-Muslim tanpa alasan yang benar, maka Allah benar-benar melarang baginya masuk surga,” (HR Ibnu Umar).
Demikianlah secara tegas ajaran Islam ketika menjaga kebebasan beragama. Ia membentengi dengan cara-cara kemanusiaan. Akibatnya, umat Islam tidak diperkenankan memaksakan agama kepada penganut agama lain, kepada orang lain. La ikraaha fi al-diin, tidak ada paksaan di dalam agama. Prinsip kebebasan inilah yang kemudian mendasari pemikiran-pemikiran progresif untuk menempatkan agama dalam ruang yang lebih harmonis.
Di Indonesia, kebebasan beragama diatur sedemikian rupa dalam konstitusi negara. Undang-Undang Dasar memberi penjelasan kepada semua orang untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Pancasila juga serupa, ia yang terus mengkampanyekan bahwa “Negara Indonesia berlandaskan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Relevansi dari rumusan dasar itu kemudian dibingkai pemerintah dengan membentuk sebuah departemen yang khusus menangani masalah Agama dan keyakinan, Kementerian Agama (dulu Depag). Sayangnya, dalam hal ini pemerintah nampak tidak adil. Ia hanya menghargai dan mengakui keberadaan agama-agama besar yang mempunyai basis massa dan agama yang mempunyai legitimasi dalam menentukan arah stabilitas politik.
Pemerintah agaknya membatasi hak masyarakat sipil dengan membingkai agama-agama besar dalam naungan yang direstui negara, alias legal, sah. Sedangkan agama-agama lain, semisal agama lokal, agama bumi, dianggap ilegal. Dari sini, bisa dilihat ketika pemerintah memberikan pengakuan resmi dalam bentuk perwakilan di kementerian Agama kepada enam agama besar: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha, dan Konghucu. Selain agama-agama itu, nampak pemerintah memilih bersikap acuh.
Memang tidak ada data statistik yang bisa diandalkan ketika menelisik wawasan keberagamaan yang dianut warga. Data dari laporan kebebasan beragama Internasional yang diterbitkan Biro Demokrasi, Hak-Hak Asasi dan Perburuhan menunjukkan bahwa 87 persen populasi adalah Muslim; 6 persen Protestan; 3,6 persen Katolik; 1,8 persen Hindu; 1 persen Buddha; dan 0,6 persen memeluk keyakinan ‘lain’, termasuk di dalamnya kepercayaan tradisional penduduk asli, kelompok Kristen lain, dan Yahudi. Meski demikian, komposisi pemeluk agama di negara ini lebih cenderung pada permasalahan politis. Betapa tidak, pemeluk agama Kristen, Hindu, dan pemeluk keyakinan minoritas lain mempercayai statistik itu mengecilkan angka yang sesungguhnya dari jumlah warga non-Muslim.
Hal yang paling nampak ketika Hukum Positif mengharuskan warga negara yang sudah dewasa untuk mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang di dalamnya mewajibkan untuk dicantumkan agama yang dipeluk seseorang. Pada masa itu, tidak ada pembicaraan yang kompromistis. Seperti halnya kaum animis ataupun ateis yang dipaksa harus mengakui salah satu agama tertentu. Kenyataan dari yang ada, banyak dari mereka yang dicatat sebagai Muslim, karena Islam adalah agama mayoritas.
* * * * * * * * *
Padahal sebelas tahun lalu, Indonesia telah meratifikasi lahirnya Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang didalamnya memuat hak kebebasan beragama. Indonesia juga telah meloloskan terbentuknya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Setidaknya lewat dua aturan hukum itu, payung hukum terkait Hak Asasi Manusia menjadi kian jelas. Namun, ada anggapan bahwa penyelesaian konflik HAM hanya bersifat semu. Padahal negara, secara resmi, mengakui HAM yang tertuang dalam salah satu pasal UU HAM. Lebih dari itu, Indonesia pun telah masuk sebagai bagian dari dunia yang juga menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, meski ia belum meratifikasi Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (the International Co­venant on Civil and Political Rights).
Tak pelak, aturan yang mengundang ‘diskriminalitas’ itu digugat berbagai kalangan. Lewat Mahkamah Konstitusi, mereka yang merasa dirugikan menggugat Undang-undang No. 1/PNPS/1965 yang genesisnya berasal dari Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. PP ini sendiri ditetapkan oleh Ir. Soekarno sebagai Presiden RI di Jakarta pada 27 Januari 1965.
Memang dalam banyak hal, isi dari PNPS 1965 ini sangat dilematis dan rancu. Satu sisi, ia terdapat upaya melindungi kebebasan beragama. Akan tetapi, di sisi lain, ia lebih mengarah pada "intimidasi" kepada kelompok minoritas. Pada penjelasan umum item 2 misalnya, disebutkan, "di antara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan agama-agama yang ada.”
Di sinilah mengapa problem yang bersumber dari PNPS No.1 Tahun 1965 ini muncul dan selalu bermasalah, bersifat dilematis. Meski pada sidang di MK tahun lalu , gugatan mencabut UU itu ditolak secara judisial review. Namun, bagi mereka yang tetap mempercayai UU ini dihapus, masih ada sosial review yang justru jauh lebih penting daripada landasan hukum. Maka, di sinilah perlu pemetaan yang jelas terkait keberpihakan negara terhadap jaminan kebebasan beragama. Apakah negara serius melakukan demografi kebebasan beragama? Jika iya, hal ini pada akhirnya akan berimplikasi pada kedinamisan masyarakat Indonesia, pada agama-agama ketika menyelesaikan konflik yang ada. 
Nazar Nurdin, peneliti di Walisongo Reseach Institut Semarang

0 komentar:

Posting Komentar

 
>>>Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) akan menyelenggarakan Rukyatul Hilal penentuan awal Ramadhan 1433 H pada Kamis (19/7) sore bertepatan dengan 29 Sya'ban 1433 H di berbagai titik di Indonesia. Warga Nahdliyin dihimbau dapat berpastisipasi dalam kegiatan tersebut >>>Kritik, saran, informasi atau artikel dapat dikirimkan kepada kami melalui email: redaksi@nu.or.id. Tuliskan subyek atau judul artikelnya untuk memudahkan redaksi.