Gus Dur adalah sosok yang luar biasa dan fenomenal. Seluruh sisa hidupnya dipersembahkan untuk rakyat. Bahkan dalam kondisi darurat –menjelang wafat-, Gus Dur selalu berfikir untuk rakyat Indonesia. Ia bukan saja ‘guru besar’ kaum sarungan, melainkan guru besar bangsa Indonesia. Bapak pluralisme Indonesia.
Satu hal yang pasti, Gus
Dur berjuang dengan penuh kejujuran serta keikhlasan. Perjuangannya tidak
dilakukan untuk memperoleh jabatan ataupun popularitas. Jamak dari kita
berjuang hanya mencari jabatan sekaligus mencari ketenaran. Tapi, ini tidak berlaku bagi Gus
Dur. Meski pada akhirnya ia dikecewakan oleh para ‘sahabat’nya sendiri, di caci
maki, dijadikan ajang pelampiasan oleh banyak kalangan, Gus Dur tidak pernah
marah ataupun ingin membalaskan dendamnya.
Melalui buku ini, Sumanto
al-Qurtuby dengan kolom-kolom esainya ingin sesekali mendedikasikan buku ini
sebagai bentuk pengabdian kepada sang guru bangsa. Sumanto pun sadar, ia bukan sebagai
anak biologis sang bapak pluralisme ini. Ia juga bukan bagian dari kerabat dan
saudara-saudaranya. Bukan pula tetangganya dan bukan ‘santri’ ngajinya. Ia juga
bukan orang yang mendapatkan ‘syafaat’ dari Gus Dur untuk menduduki jabatan-jabatan
politis-strategis.
Ia juga bukan orang yang
diuntungkan ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden, juga bukan kelompok yang
mendapatkan keuntungan politik dan material dari Gus Dur. Tapi, Sumanto
mengakui sebagai salah satu ‘anak idelogis’ Gus Dur yang mencoba mengabdikan
diri kepada sang inspirator yang telah memberikan rujukan tentang
pemikiran-pemikiran yang inklusif-pluralis
yang melintas batas ideologi, agama dan etnis (hlm. xliii).
Dalam buku ini, disajikan
pelbagai fenomena menarik ketika Gus Dur menjabat sebagai orang pertama di
negeri ini. Sesaat ketika Gus Dur diambil sumpah sebagai Presiden RI ke-4, ia
menegaskan bahwa hanya mereka yang mengerti dan memahami hakikat demokrasi yang
mampu mengamalkan, memelihara dan menegakkan demokrasi. Dalam pandangannya, ia
mendasarkan prinsip demokrasi pada tiga hal; kebebasan, persamaan dan
musyawarah. Ketiga konsep ini diadopsi oleh Gus Dur dari gerakan anti
diskriminasi Mahatma Gandi, dan rumusan Ali Abdurraziq.
Gus Dur sekali lagi
memang kontroversial. Selama menjadi presiden, ia membubarkan Departemen
Penerangan (Deppan) dan Departemen Sosial (Depsos). Ia mengaggap kedua Departemen
itu telah menyalahi Konstitusi dan prinsip demokrasi itu sendiri. Sehingga, muncul
penolakan dan kritik keras dari berbagai kalangan. Lebih heboh lagi, Gus dur
juga berinisiatif mencabut TAP MPR No 25 MPRS Tahun 1966 tentag PKI dengan
mengeluarkan Dekrit Presiden. Dari sinilah, pemerintahan Gus Dur tidak mendapat
dukungan dari TNI, seruan fatwa Mahkamah Agung, hingga kemudian MPR menggelar
sidang Istimewa untuk melengserkan Gus Dur tanpa kehadiran sang Presiden.
Sehingga, dari sinilah sang presiden dijungkalkan secara politis dari kursi
presiden di negeri ini dengan disertai isu skandal Buloggate.
Lepas dari itu, dalam
buku ini Sumanto dengan jeli memetakan pola pemerintahan sang kiai ini. Namun,
sebagai ‘anak ideologis’nya nampaknya Sumanto kurang proporsional dalam
mengurai tindakan-tindakan Gus Dur yang terbilang kontroversial. Meski, dalam
buku setebal 197 halaman ini pula ia dengan tegas mencoba berlaku proporsional.
Akhirnya,
Gus Dur adalah Gus Dur. Ia juga manusia seutuhnya yang tidak luput dari sifat
kelupaan dan kesalahan. Semoga, amal bhaktinya diterima disisinya. Amin. [Nazar
Nurdin]
Judul
Buku : SEMAR DADI RATU; Mengenang Gus Dur
Kala Jadi Presiden
Penulis
: Sumanto Al-Qurtuby
Editor
:
Tedi Kholiludin
Penerbit : Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang Jawa
Tengah
Cetakan
: Pertama, Agustus 2010
Harga
:
Rp. 25.000,00
Tebal
Buku : zlix + 197
0 komentar:
Posting Komentar