Pages

Minggu, 17 Januari 2010

Mengguritakan Aditjondro

Sejak resmi diluncurkan kepada khalayak umum akhir tahun lalu, buku fenomenal karya George Junus Aditjondro dengan cepat menuai banyak kritik pedas. Kritikan paling tajam dan jelas terlihat dari kalangan pendukung SBY baik itu dari yang berlatar belakang partai, maupun profesional. Buku berjudul ‘Membongkar Gurita Cikeas’ itu pun menyulut emosi banyak pihak. Bahkan penulis buku tersebut, menerima banyak ancaman atas proyek penelitian ilmiahnya. Tekanan itu terus bermunculan baik secara lisan mengecam tindakan dirinya menulis buku tersebut maupun lewat perantara teknologi yang senantiasa mengancam dirinya.
Hal ini wajar mengingat watak pemangku kepentingan atau pejabat yang merasa yang dipojokkan tergolong masih kekanak-kanakan. Dalam artian, tidak bisa menerima dengan hati yang lapang dan sesekali ingin bermain seperti di taman kanak-kanak. Dan seorang Aditjondro merasa tergugah untuk menggoreskan sebatang pena ke dalam sebuah buku kecil yang berisikan tentang praktik ‘bejat’ penguasa yang selalu korupsi dan selalu korupsi. Buku tersebut lahir karena buntut keprihatinan atas maraknya praktik korupsi yang melanda negeri kita tercinta, Indonesia.

Secara eksplisit, buku fenomenal ini mulai menemukan faknya berupa tarik ulur berbagai pendapat. Seperti biasanya buku yang dinyatakan ‘aneh’ ditanggapi beragam oleh banyak pihak. Pro-kontra bermunculan terhadap penyataan dalam buku tersebut, sebagian mengecam keras, sebagian lainnya menerima pernyataan yang dipresentasikan Aditjondro. Diketahui bahwa semula buku ini dicetak 4000 eksemplar dan telah disebarkan ke berbagai toko buku. Namun, seiring terkuaknya aroma politik korupsi di negeri ini, buku tersebut kian sulit dilacak keberadaannya. Entah buku fenomenal tersebut laris terjual atau kah malah ditarik dari pasaran, keberadaannya pun saat ini masih simpang siur.

Maka, seiring sulitnya mencari cetakan buku tersebut serta kurangnya informasi, tidak elok rasanya jika penulis buku lantas dihakimi sedemikian rupa tanpa tahu isi dari buku. Apalagi penghakiman berreferensi menurut perkataan orang, buku tersebut sampah dan tidak berguna. Hegemoni pun menyeruak untuk melumat habis pernyataan dalam isi buku. Jika dirunut ke belakang, buku ini telah memenuhi prosedural dalam standar ilmiah dari karya tulis. Mengingat dalam buku tersebut disajikan dalam kemasan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh penulisnya.

Meskipun penulis sendiri belum lihat isi buku tersebut, namun pada dasarnya banyak kolumnis di media massa yang mencoba menguraikan apa yang ada dalam buku tersebut. Dalam catatan Arianto Sangaji, seorang kolumnis Kompas, isi buku tersebut mengilustrasikan perilaku korupsi yang ada di Indonesia yaitu tentang adanya politik korupsi. Aditjondro menilai hal ini sebagai sebuah perbuatan oligarki dan menyebut politik korupsi ini ‘berkaki tiga’ yakni istana, tangsi dan partai penguasa. Dia mengklaim adanya kesinambungan dari Soeharto sampai SBY yang mengunakan sistem oligarki, (Kompas, 6/1/10).

Kondisi ini amat mirip dengan apa yang dikatakan Edwin Lemert, (1912-1996) yang membuat pembahasan penting mengenai konstruksi sosial paranoia dalam teori labeling. Paranoia adalah kondisi mental dimana seseorang membayangkan dirinya ditindas oleh suatu persekongkolan. Aditjondro dalam hal ini bak menerima penyakit paranoia dari suatu persekongkolan yang mendiskreditkan atas dirinya.

Seperti dikatakan Lemert, jika paranoia terdapat dalam tubuh seseorang maka suatu persekongkolan itu benar-benar terwujud. Sepintas jika menelaah pernyataan presiden SBY yang mengatakan keprihatinan atas buku tersebut yang dinilainya memuat fakta-fakta yang tidak akurat dan tidak mengandung kebenaran. Dan yang menganggap buku terebut sebagai sarana fitnah kepada penguasa.

Hal ini mengindikasikan adanya kejelasan tentang persekongkolan yang menimpa Aditdjondro. Amat disayangkan, jika berbagai pihak mulai mengguritakan Aditdjondro sebagai penulis buku yang salah kaprah.

Nah, sebagai warga negara yang patuh dan taat pada hukum serta negara yang menggunakan sistem demokrasi, maka kurang bijak rasanya jika segenap elemen masyarakat Indonesia yang mafhum akan arti demokrasi turut andil dalam penghakiman Aditjondro. Apalagi bapak tua berjenggot tebal itu adalah dosen sosiologi korupsi, maka secara logika dia tahu secara pasti apa itu korupsi dan dapat membedakan antara perilaku korupsi dan yang tidak. Namun lepas dari itu, seharusnya yang dapat kita dilakukan hanyalah dengan tidak menerima dengan keadaan pasif berita berkembang yang mengguritakan Aditjondro.

1 komentar:

 
>>>Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) akan menyelenggarakan Rukyatul Hilal penentuan awal Ramadhan 1433 H pada Kamis (19/7) sore bertepatan dengan 29 Sya'ban 1433 H di berbagai titik di Indonesia. Warga Nahdliyin dihimbau dapat berpastisipasi dalam kegiatan tersebut >>>Kritik, saran, informasi atau artikel dapat dikirimkan kepada kami melalui email: redaksi@nu.or.id. Tuliskan subyek atau judul artikelnya untuk memudahkan redaksi.